Archive

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Pentingnya Pengetahuan Diet Demam Thypoid

August 23, 2011 2 comments

Oleh Siti Rasmillah Tahun 2009

Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonellaOrganisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara per oral, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak diagnosis.

Ketidakpatuhan penderita penyakit thypoid dalam menjalankan diet disebabkan karena rendahnya pengetahuan keluarga. Rendahnya pengetahuan keluarga tentang diet penyakit thypoid berdampak pada sajian menu makanan untuk penderita tidak berdasarkan pada diet yang telah ditetapkan untuk penderita thypoid. Kebanyakan keluarga penderita Thypoid beranggapan bahwa diet pada penderita thypoid hanya tentang makanan yang lunak saja, namun karena  terbatasnya pengetahuan keluarga seringkali penderita thypoid tetap diberi diet tinggi serat. Pengetahuan yang salah tentang diit penyakit thypoid dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan pada penderita penyakit thypoid.

 

Categories: Uncategorized

Diet Bagi Penderita Demam Thypoid

August 22, 2011 3 comments

Oleh

Tania Nugrah Utami, S. Ked

Tahun 2010

 

Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita thypoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah kekambuhan. Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah:

  •  Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
  •  Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
  •  Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
  •  Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
  •  Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
  • maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
  •  Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan.
  •  Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam.
  •  Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin
  •  Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
  •  Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

Categories: Uncategorized

Mere Exposure

January 1, 2010 Leave a comment

Pepatah jawa ’Witing Tresno Jalaran soko Kulino’ sangat
jelas menggambarkan paradigma mere exposure ini. Zajonc (1968) yang pertama kali mengemukakan bahwa frekuensi interaksi antara objek sikap dengan individu dapat meningkatkan sikap positif terhadap objek tersebut.
Penelitian Festinger (1951) dan Newcomb, 1963) menunjukkan bahwa meningkatnya interaksi sosial dapat meningkatkan perasaan saling menyukai antara kedua belah pihak. Cook (1978) yang banyak meneliti mengenai prasangka pada kelompok minoritas, melaporkan bahwa interaksi kedua belah pihak yang semakin intensif dapat mengurangi prasangka. Penelitian lain berkaitan dengan penggunaan IT dilakukan oleh Minsky & Marin (1999)
menyatakan bahwa staf pengajar perguruan tinggi yang berasal dari fakultas eksakta dan sehari-hari bekerja menggunakan komputer cenderung akan memilih media komunikasi email daripada staf yang bekerja di bidang sosial.
Penelitian ini sekaligus menunjukkan bahwa frekuensi berinteraksi dengan suatu objek akan meningkatkan rasa senang terhadap objek tersebut sesuai dengan prinsip mere exposure.

Categories: Uncategorized Tags: ,

Operant and Classical Conditioning.

January 1, 2010 Leave a comment

Pernyataan Thorndike (dalam Eagly dan Chaiken, 1993) yang sangat monumental bahwa ”Pleasure stamp in, pain stamp out” sangat mudah membantu dalam memahami sebab-sebab dimasukkannya teori operant conditioning ini ke dalam kelompok proses afektif
yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap. Dengan definisi sikap sebagai predisposisi yang dipelajari, perasaan positif yang dialami sebagai konsekuensi dari sikap atau perilaku tertentu cenderung mendorong individu untuk mengulangi atau mempertahankan sikap dan perilaku tersebut.
Sebaliknya perasaan negatif akan mendorong individu meninggalkan sikap atau perilaku tertentu. Contoh sederhana untuk implementasi prinsip operant conditioning ini dengan sikap misalnya individu memberikan kesempatan orang lain menggunakan jalan terlebih dahulu apabila setiap kali ia memberi kesempatan, ia mendapat perlakuan yang positif berupa ucapan terima kasih
atau senyuman dari orang lain. Contoh lain, apabila seorang menggunakan email dalam berkomunikasi ia mendapat respon positif dan cepat dari rekan-rekannya.
Prinsip conditioning yang lain adalah teori Pavlov yang lebih dikenal dengan classical atau respondent conditioning juga dapat dipandang sebagai proses afektif. Dalam teori ini dikemukakan bahwa individu akan bersikap positif terhadap objek yang sering disajikan bersamaan dengan stimulus positif. Misalnya eksperimen yang dilakukan Staats & Staats (1958) yang menyajikan kata Dutch yang selalu dipasangkan dengan kata negatif dan kata wedish yang dipasangkan dengan kata-kata positif. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa subjek eksperimen lebih menyukai kata Swedish daripada Dutch. Implementasi teori respondent conditioning ini dalam penggunaan TIK, dapat disaksikan pada individu yang memilih menulis email daripada datang menemui rekan bisnisnya karena email berkaitan dengan semboyan ’melek TIK’ atau melek IT atau ’IT litterate’ yang merupakan salah satu ciri kelompok masyarakat yang maju.

Categories: Uncategorized Tags: ,

Operant and Classical Conditioning.

January 1, 2010 1 comment

Pernyataan Thorndike (dalam Eagly dan Chaiken, 1993) yang sangat monumental bahwa ”Pleasure stamp in, pain stamp out” sangat mudah membantu dalam memahami sebab-sebab dimasukkannya teori operant conditioning ini ke dalam kelompok proses afektif
yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap. Dengan definisi sikap sebagai predisposisi yang dipelajari, perasaan positif yang dialami sebagai konsekuensi dari sikap atau perilaku tertentu cenderung mendorong individu untuk mengulangi atau mempertahankan sikap dan perilaku tersebut.
Sebaliknya perasaan negatif akan mendorong individu meninggalkan sikap atau perilaku tertentu. Contoh sederhana untuk implementasi prinsip operant conditioning ini dengan sikap misalnya individu memberikan kesempatan orang lain menggunakan jalan terlebih dahulu apabila setiap kali ia memberi kesempatan, ia mendapat perlakuan yang positif berupa ucapan terima kasih
atau senyuman dari orang lain. Contoh lain, apabila seorang menggunakan email dalam berkomunikasi ia mendapat respon positif dan cepat dari rekan-rekannya.
Prinsip conditioning yang lain adalah teori Pavlov yang lebih dikenal dengan classical atau respondent conditioning juga dapat dipandang sebagai proses afektif. Dalam teori ini dikemukakan bahwa individu akan bersikap positif terhadap objek yang sering disajikan bersamaan dengan stimulus positif. Misalnya eksperimen yang dilakukan Staats & Staats (1958) yang menyajikan kata Dutch yang selalu dipasangkan dengan kata negatif dan kata wedish yang dipasangkan dengan kata-kata positif. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa subjek eksperimen lebih menyukai kata Swedish daripada Dutch. Implementasi teori respondent conditioning ini dalam penggunaan TIK, dapat disaksikan pada individu yang memilih menulis email daripada datang menemui rekan bisnisnya karena email berkaitan dengan semboyan ’melek TIK’ atau melek IT atau ’IT litterate’ yang merupakan salah satu ciri kelompok masyarakat yang maju.

Categories: Uncategorized Tags: ,

Social Judgement Theory (SJT)

January 1, 2010 Leave a comment

Teori ini menekankan pada sikap individu sebelumnya yang potensial mempengaruhi persepsinya mengenai pesan yang disampaikan. Teori ini memang bukan khusus membahas
mengenai persuasi melainkan berkaitan dengan sikap secara umum, bahwa sikap individu terhadap objek tertentu akan sangat
mempengaruhinya dalam memaknai (encoding) informasi seputar objek sikap (Eagly & Chaiken, 1993).

Categories: Uncategorized Tags: ,

Attribution Approach

January 1, 2010 Leave a comment

Pendekatan ini menekankan pada bagaimana individu memandang latar belakang komunikator yang menyampaikan pesan-pesan persuasi. Bila komunikator dipandang tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap pesan yang disampaikannya maka orang
akan melihat pesan yang disampaikan didasarkan pada niat yang tulus. Hal ini akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada pihak pendengar pesan. Dalam hal ini, individu menekankan pada sebab-sebab mengapa komunikator mengambil posisi tertentu dalam kaitannya dengan pesan yang disampaikannya. Apakah dia mempunyai kepentingan yang menguntungkan pribadinya? misalnya dalam membahas pajak penghasilan. Individu akan lebih mudah terpengaruh untuk mendukung pernyataan bahwa pajak penghasilan terlalu tinggi apabila komunikatornya adalah seorang politisi yang sudah pensiun daripada bila pernyataan tersebut dikemukakan oleh politisi yang sedang kampanye untuk pemilihan
umum.
Dengan demikian, dalam pendekatan atribusi ini faktor person yang menyampaikan pesan sangat berpengaruh. Apabila seorang profesor mengemukakan kepada mahasiswanya bahwa buku Laskar Pelangi adalah sebuah buku yang bagus dan mengandung pesan moral, akan lebih mendorong mahasiswa untuk membacanya daripada apabila pesan tersebut dikemukakan oleh pemilik toko buku. Hal ini dikarenakan si profesor dinilai (diatribusikan) tidak memiliki kepentingan untuk membuat buku itu laris, sedangkan apabila pemilik toko berkata yang sama dengan tujuan untuk membuat buku yang dijualnya laku. Profesor dalam memberikan pernyataannya tidak didasari oleh adanya kepentingan (self
interest), sedangkan pemilik toko buku dalam dinilai memiliki vested interest.

Categories: Uncategorized Tags: ,

Heuristic Systematic Model (HSM).

January 1, 2010 Leave a comment

Model ini sebetulnya serupa dengan ELM dalam memandang proses terbentuknya sikap. Kelebihan HSM adalah situasi proses dimana persuasi terjadi ditetapkan terlebih dahulu untuk menjamin validasi terhadap pesan yang disampaikan. Menurut Chaiken (dalam Eagly & Chaiken, 1993) pada dasarnya penerima pesan menginginkan pesan yang akurat. Pemikiran ini didasarkan pada dua hal yang kontradiktori, pertama bahwa individu ingin menganut sikap yang benar (postulat 1 dari ELM), kedua bahwa teori sikap mengemukakan bahwa sikap terbentuk dan berubah dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memungkinkan masuknya berbagai proses subjektif dalam rangka memelihara hubungan interpersonal. Oleh karena itu, Chaiken mengemukakan bahwa ada dua motivasi lain dapat digunakan untuk mengetahui validitas informasi yang dapat dilakukan baik dengan proses
heuristic maupun sistematik, yaitu defence motivation atau dorongan untuk mempertahankan suatu sikap tertentu, dan impression motivation yaitu dorongan untuk menerima sikap agar individu dapat diterima secara sosial oleh lingkungannya.

Categories: Uncategorized Tags: ,

Pemahaman terhadap argumentasi persuasif

January 1, 2010 Leave a comment

Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh McGuire (dalam Eagly & Chaiken 1993) yang sangat dipengaruhi oleh pendapat Hovland, et.all. (1953) mengenai fase-fase pemrosesan informasi. Menurut McGuire, pemahaman individu terhadap pesan terjadi melalui tahap-tahap sebagai berikut, yaitu (a) perhatian
terhadap pesan, (b) pemahaman terhadap isi pesan, dan (c) penerimaan terhadap kesimpulan. Dalam melakukan komunikasi persuasif, ketiga faktor tersebut merupakan rangkaian, yang baik secara langsung (penerimaan terhadap objek sikap) maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perhatian individu pada isi pesan atau informasi mengenai objek sikap dan pemahaman terhadap informasi mengenai objek sikap. Dengan demikian, dalam mempengaruhi orang lain, seorang komunikator harus memfokuskan perhatian mereka menjadi bagian yang sangat penting agar isi pesan dapat dipahami oleh pendengar, kemudian menyetujui kesimpulan pesan yang disampaikan. Untuk mencapai tujuan ini, komunikator haruslah seorang yang mampu membuat individu tertarik, dan secara sukarela meluangkan perhatiannya untuk memahami isi pesan.
Hovland & Weiss, 1951) mengemukakan bahwa orang akan lebih tertarik untuk mendengarkan pesan yang disampaikan seorang pakar daripada orang awam karena seorang pakar lebih dipercaya karena keahlian yang dimilikinya (expertise).
Masih berkaitan dengan proses kognitif yang terlibat dalam pembentukan dan perubahan sikap, McGuire (1960) mengemukakan konsep information-processing paradigm bahwa sikap dapat terbentuk melalui 6 langkah, yaitu objek sikap harus disajikan (a. Presentation) terlebih dahulu kepada individu. Apabila presentasi dilakukan dengan tepat dan menarik maka individu akan tertarik (b. Attention) terhadap objek sikap. Objek sikap yang disajikan dengan baik, menyebabkan individu bersedia secara sukarela mencurahkan perhatiannya, sehingga pemahaman (c. Comprehension) terhadap isi pesan akan lebih mudah dilakukan. Dalam belajar juga dikenalkan prinsip fun learning yang mampu melipat gandakan hasil belajar. Apabila isi pesan terkait objek sikap tersebut dipahami, tidak ada alasan bagi individu untuk menolak (d. Yielding). Pada saat ini benih sikap potensial terbentuk pada individu. Satu proses lagi yang dibutuhkan yaitu memperkuat dan memelihara agar pemahaman itu bertahan (e. Retention) sebelum akhirnya terwujud dalam perilaku (f. Behavior)

Categories: Uncategorized Tags: ,

Elaboration Likelihood Model (ELM)

January 1, 2010 1 comment

Model ini dikemukakan oleh Richard Petty & John Cacioppo (1986) yang menyatakan bahwa proses perubahan sikap perlu mempertimbangkan faktor pemediasi dari proses persuasi, yaitu bobot (valence) dan jumlah pesan yang berkaitan dengan respon kognitif. Oleh karena itu, proses elaborasi yang berkaitan dengan
kesesuaian objek sikap dengan informasi yang sudah dimiliki oleh individu menjadi langkah yang amat penting. Keunggulan model ini ada pada langkah-langkah yang digunakan dalam memandang persuasi, yaitu (a) menemukan kondisi persuasi yang perlu dimediasi oleh pemikiran yang berhubungan dengan pesan (specifies the conditions under which persuasion shoud be mediated by message-related thinking) dan (b) mempostulatkan bahwa mekanisme pheriperal alternatif dapat diterapkan terhadap persuasi apabila kondisi yang disyaratkan tidak dapat terpenuhi.
Petty & Cacioppo mengemukakan ada 7 postulat mengenai sikap,
yaitu: (1) Manusia sesungguhnya mempunyai dorongan untuk penganut sikap yang benar, (2) Walaupun manusia ingin menganut sikap yang benar, jumlah isu relevan yang dibutuhkan individu untuk mengevaluasi
pesan yang berkaitan dengan sikap, bervariasi antara individu. Dalam hal ini motivasi dan kemampuan individu akan sangat menentukan. (3) Variabel-variabel yang mempengaruhi jumlah dan arah sikap dapat berupa: argumen-argumen persuasif, pheriperal cues, dan motivasi dan kemampuan individu. (4) Variabel mempengaruhi motivasi dan kemampuan dalam memproses pesan yang dapat mempengaruhi keinginan merubah sikap, baik ke arah positif maupun negatif. (5) Bila motivasi menurun dibutuhkan peripheral cues, sebaliknya bila motivasi
meningkat maka peripheral cues sudah tidak dibutuhkan lagi, (6) Variabel-variabel yang mempengaruhi proses pembentukan sikap akan berdampak negatif atau positif terhadap motivasi, dan (7) perubahan sikap yang dihasilkan dari proses argumentasi yang relevan dengan topik akan memberikan dampak perubahan yang lebih dapat memprediksi perilaku daripada perubahan sikap yang diperoleh daripada peripheral cues. Apabila individu menerima pesan dalam keadaan nyaman (non-distracting) maka pesan akan dihantarkan melewati central route persuasion sehingga akan lebih kuat. Sebaliknya, apabila pesan diterima pada keadaan yang tidak nyaman (distracting) atau tidak relevan dengan individu maka pesan akan dihantarkan melalui pheriperal route persuasion yang sifatnya lebih lemah daripada central route persuasion. Salah satu faktor yang menentukan kesiapan individu dalam menerima pesan adalah kejelasan informasi yang diterima. Penelitian yang dilakukan oleh Fabrigar, et.al., (2006) menyatakan bahwa jumlah informasi atau luasnya knowledge yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek sikap menentukan kekuatan perubahan sikap yang dialami individu

Categories: Uncategorized Tags: ,